7 Kesalahan Menulis Buku Non Fiksi yang Harus Dihindari
7 Kesalahan Menulis Buku Non Fiksi yang Harus Dihindari
Menulis buku non fiksi jelas berbeda dengan buku fiksi, baik dari aspek pembangun tulisan maupun wujud hasil tulisannya. Jika tulisan fiksi dilandasi oleh pemikiran yang imajinatif, pada karya non fiksi tidak bisa demikian. Tulisan non fiksi berangkat dari fakta, pengalaman empiris, maupun peristiwa faktual, yang dikemas dalam bentuk karya populer atau ilmiah. Dalam prosesnya, ada beberapa kesalahan menulis buku non fiksi yang penting untuk dihindari, khususnya oleh para penulis pemula. Berikut penjelasan selengkapnya.
Hindari 7 Kesalahan Menulis Buku Non Fiksi Ini agar Lancar Menulis
Secara garis besar ada tiga jenis buku non fiksi, yaitu buku populer, buku ilmiah, dan buku populer-ilmiah. Untuk menulis ketiga buku ini tentu ada perbedaan teknik, menyesuaikan jenis bukunya. Namun, tidak jarang dijumpai penulis (utamanya penulis pemula) yang melakukan kesalahan serupa selama proses penulisan buku non fiksi. Berikut 7 kesalahan dalam menulis buku non fiksi yang penting dihindari demi kelancaran proses penulisan.
- Ide Dasar Tulisan Kurang Matang
Pada karya fiksi maupun non fiksi, ide dasar ibarat fondasi yang menopang berdirinya struktur karya secara utuh. Ide dasar ini yang melahirkan gagasan kecil-kecil untuk termuat di setiap bab, paragraf, hingga kalimat dalam isi buku. Jadi apabila ide dasar ini kurang matang, besar kemungkinan buku yang ditulis akan kehilangan arah.
Pada beberapa buku, ada yang ide dasarnya mencakup bahasan terlalu luas sehingga isinya ke mana-mana. Kalau orang Jawa menyebutnya ngalor-ngidul. Contohnya, sebuah buku membahas tentang tips memulai bisnis. Karena ide dasarnya tidak dimatangkan pada topik yang lebih spesifik, akhirnya pembahasan bukunya melebar sampai ke tips bisnis online, bisnis UMKM, bisnis rumahan, bisnis sampingan, bisnis pemula, dan sebagainya. Kekeliruan menulis buku non fiksi yang seperti ini membuat pembaca cepat bosan karena isi buku dianggap terlalu banyak informasi.
Sebaiknya, sebuah buku memuat sebuah ide dasar yang terfokus agar apa yang dibahas tidak meluber. Pembaca lebih senang pada buku yang informatif dan solutif pada satu fokus tertentu dan dikupas tuntas, alih-alih buku dengan terlalu banyak informasi yang hanya dibahas sekilas-sekilas. Maka dari itu, matangkan terlebih dahulu ide dasar sejak persiapan menulis di awal.
- Sasaran Pembaca Tidak Jelas
Menulis buku jenis apa pun, fatal jadinya jika tidak mempunyai sasaran pembaca yang jelas. Gambarannya seperti Anda ingin memberikan hadiah kepada seseorang, tetapi belum tahu siapa yang ingin Anda beri hadiah. Padahal saat Anda sudah tahu siapa yang ingin diberi hadiah, Anda bisa menentukan hadiah apa yang cocok dan hendak dibungkus seperti apa yang sesuai selera penerima.
Sama halnya dalam menulis buku, apabila Anda sudah menentukan sasaran pembaca secara jelas, Anda jadi tahu bagaimana baiknya isi buku tersebut dan bagaimana mengemasnya sehingga target pembaca Anda jadi tertarik. Sasaran pembaca yang tidak jelas juga membuat naskah kurang terarah karena isinya kurang terfokus.
- Bahasa yang Digunakan Terlalu Kaku
Kesalahan menulis karya non fiksi lainnya adalah bahasa yang digunakan dalam tulisan terlalu kaku. Meskipun tulisan non fiksi bukanlah karya yang butuh banyak majas dan diksi sebagaimana tulisan fiksi, bukan berarti bahasa dalam tulisan non fiksi dibuat sangat kaku. Selain pada buku ilmiah yang memang harus mengikuti kaidah kebahasaan dan aturan ejaan baku, buku non fiksi bisa menggunakan diksi yang lebih beragam agar tidak membosankan.
Bahasa yang terlalu kaku juga menciptakan jarak antara penulis dengan pembaca. Misalnya, pada buku non fiksi yang berisi tentang tips parenting, sudahlah pembahasannya teoretis, gaya bahasa yang digunakan pun sangat formal. Alhasil, pembaca jadi merasa tidak seperti membaca buku tips, melainkan buku teks yang terkesan membosankan. Maka dari itu, buku non fiksi perlu dikemas dengan bahasa yang komunikatif dan diksi lebih variatif agar pembaca nyaman dalam membacanya.
- Penyampaian Pembahasan Kurang Runtut
Apabila dalam buku fiksi ada alur yang mengatur jalannya cerita, sebenarnya pada buku non fiksi juga perlu ada alur pembahasan yang runtut. Tujuannya agar pembaca bisa menangkap poin-poin gagasan yang disampaikan dalam buku secara lengkap. Pembahasan yang kurang runtut bisa berpotensi menyebabkan pembaca bingung menangkap pola berpikir penulis dalam bukunya.
Contoh pembahasan yang kurang runtut, seperti penyampaian ide yang loncat-loncat, belum selesai satu pembahasan tuntas kemudian beralih ke pembahasan lain, dan sebagainya. Sebuah buku non fiksi, baik ilmiah maupun populer, seharusnya perlu memperhatikan silogisme dan kaidah penalaran. Tidak harus mengaplikasikan kaidah penalaran yang rumit, selagi materi yang disampaikan runtut itu saja sudah bisa memudahkan pembaca menangkap isi bukunya.
- Referensi yang Dipakai Terlalu Sedikit
Sedikitnya referensi yang dipakai dalam proses menulis juga dapat menyumbang kesalahan membuat karya non fiksi. Seseorang dapat menulis dengan lancar karena punya banyak referensi yang telah dibaca sebagai bahan tulisan. Pada tulisan non fiksi khususnya, sekalipun yang ditulis adalah murni berdasarkan pengalaman, tetap butuh referensi agar bisa memperkaya isi buku dan memperluas perspektif buku.
Seorang penulis non fiksi yang tidak punya cukup referensi biasanya akan bingung hendak menuliskan apa. Ujung-ujungnya, hanya menyampaikan a-b-c-d secara random tanpa ada landasannya. Hal yang seperti ini perludihindari karena pembaca perlu diberi informasi yang tepat dan baiknya memberikan ilmu/pengetahun baru, bukan tulisan yang asal dirangkai tanpa makna.
Maka dari itu, agar naskah kaya muatannya, penulis perlu mempersiapkan diri dengan banyak membaca referensi. Semakin banyak referensi yang dibaca, semakin beragam output informasi yang tersaji di dalam tulisan. Naskah yang dibuat pun jadi semakin komprehensif isinya.
- Tulisan Terlalu Bertele-Tele
Ada beberapa jenis tulisan yang dapat dikatakan sebagai “bertele-tele”. Pertama, tulisan yang banyak menggunakan pengulangan kalimat hanya untuk menyampaikan satu gagasan. Kedua, tulisan yang sengaja menggunakan banyak pilihan kata (yang sebenarnya tidak perlu) agar terasa panjang dan menambah jumlah halaman. Ketiga, tulisan yang pembuka beserta basa-basinya sangat banyak, tetapi konten utamanya hanya sedikit.
Setidaknya tiga ciri itulah yang banyak dijumpai pada sebagian buku non fiksi, terutama buku motivasi atau pengembangan diri. Ada penulis yang kurang mengoptimalkan pembahasan pada poin penting, tetapi justru memperbanyak bahasan pada aspek yang sebenarnya bisa disampaikan sekilas saja.
Atau ada juga penulis buku non fiksi jenis motivasi yang banyak menggunakan gurauan ala bahasa lisan (mungkin memang ciri khas pribadi penulis seperti itu), tetapi porsinya terlalu banyak. Alhasil buku yang ditulisnya terkesan banyak candaan alih-alih premis utamanya. Penulisan karya non fiksi perlu memperhatikan keefektifan kalimat/paragraf agar isi buku tidak bertele-tele karena banyak pengulangan atau banyak muatan yang tidak terlalu penting.
- Tidak Melakukan Swasunting Usai Menulis
Kegagalan menulis buku non fiksi yang juga kerap dialami oleh para penulis adalah tidak melakukan swasunting. Beberapa tipe penulis bahkan enggan membaca ulang naskah yang sudah selesai ditulisnya, bisa jadi karena merasa naskahnya sangat buruk sehingga malas memeriksa ulang, atau bisa pula karena alasan lain. Padahal swasunting saat selesai menulis merupakan salah satu step penting dalam penulisan karya yang tidak boleh di-skip.
Dengan swasunting yang tepat, penulis jadi bisa mengecek ulang hasil tulisannya. Penulis juga bisa “berkaca” dari apa yang sudah ditulisnya, apakah sudah layak dinikmati oleh pembaca atau masih perlu banyak polesan. Swasunting juga memberikan ruang bagi penulis agar bisa membaca ulang karyanya dari perspektif yang berbeda.
Itulah beberapa kesalahan menulis buku non fiksi yang penting dihindari dalam proses kepenulisan. Tidak ada proses menulis yang mudah, mengingat menulis adalah kegiatan brainstorming yang dapat menguras otak untuk menuangkan kreativitas. Namun dengan mengenali kesalahan yang sering terjadi dalam penulisan buku non fiksi, Anda bisa mengambil langkah antisipasi agar kesalahan tersebut tidak Anda alami dan proses menulis pun jadi lebih lancar.